oleh Adityo Sumaryadi
dalam Majalah Bulanan Pertamina Field Jambi
Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan salah satu
komponen dalam membentuk struktur perkotaan. RTH ini memiliki pengertian
sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka (open
space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan
vegetasi (endemic, introduksi) guna mendukung manfaat langsung maupun tidak
langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan,
kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. Berdasarkan
jenisnya, RTH dapat diklasifikasikan menjadi RTH alami (habitat alami, kawasan
lindung) dan RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga,
pemakaman). Sedangkan berdasarkan status kepemilikan RTH diklasifikasikan
menjadi RTH publik (lahan publik atau lahan milik pemerintah) dan RTH privat
(lahan milik pribadi).
RTH, baik RTH publik maupun RTH privat,
memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan
(ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu
wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan
kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota. RTH terdiri dari beberapa jenis
vegetasi yang disesuaikan dengan lokasi dan peruntukkannya, misalnya jenis
vegetasi antara wilayah pusat kota dengan daerah pesisir akan berbeda. Proporsi
30% luasan ruang terbuka hijau kota merupakan ukuran minimal untuk menjamin
keseimbangan ekosistem kota baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan
mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan
udara bersih yang diperlukan masyarakat, ruang terbuka bagi aktivitas publik
serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota (Hakim,2004).
Taman Prestasi
Surabaya, 2012
|
Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT
Johannesburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002), telah disepakati bersama
bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30 persen dari total luas
kota dimana proporsi ruang terbuka hijau yang sesuai adalah sebesar 30% dari
keseluruhan luas lahan yang komposisinya terbagi atas 20% ruang terbuka hijau publik
dan 10% ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau pada suatu kota harus
memenuhi luasan minimal ruang terbuka hijau sehingga dapat memenuhi fungsi dan
memberikan manfaatnya dalam suatu kawasan kota dimana penyelenggaraan ruang
terbuka hijau kota menurut Purnomohadi
(2006).
Penerapan Ruang
Terbuka Hijau di Kawasan Pertambangan
Penerapan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam
kehidupan sehari-hari dapat dilihat dari keberadaan ruang-ruang terbuka seperti
taman dan area-area hijau lainnya. Keberadaan RTH ini tentu memberikan
kontribusi yang cukup signifikan dalam kelangsungan proses perkembangan kota
serta keberlanjutan lingkungan di dalamnya. Selain itu, RTH tersebut dapat
memberikan kontribusi yang besar bagi kelangsungan hidup dan aktivitas
masyarakat di dalamnya. Sesuai dengan syarat proporsi minimal RTH yang harus
dikembangkan di suatu wilayah perkotaan, setiap pihak baik instansi pemerintah,
swasta, maupun masyarakat individu, seluruhnya dapat berkontribusi. Begitu juga
sektor-sektor yang terkait, salah satunya adalah pihak yang bergerak di bidang
energi/pertambangan.
Sektor pertambangan khususnya migas secara
teoritis dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan RTH.
Wilayah sektor migas tersebut dapat diterjemahkan sebagi kawasan pertambangan
dimana setiap aktivitasnya memiliki keekslusifan dalam pengelolaan wilayahnya.
Keberadaan kawasan pertambangan memiliki kebutuhan wilayah yang cukup luas,
memiliki kriteria dan standar tertentu terutama bagi keamanan dan keselamatan
pelaksanaan kegiatan, sehingga hal ini akan menjadi sebuah potensi dalam
merealisasikan keberadaan RTH yang berkontribusi bagi pengembangan perkotaan.
Potensi ini tidak dapat dioptimalkan jika tidak ada perencanaan yang baik dan
pengelolaan yang terstruktur. Perlu sebuah penataan bagi kawasan pertambangan yang
terencana dengan baik dan menjadikan pembuatan RTH sebagai sebuah kebutuhan
dalam setiap aktivitas pengembangan lahan baik pemboran maupun kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan
oleh pihak yang berkepentingan.
Perencanaan RTH dalam kawasan pertambangan dapat diejawantahkan misalnya di setiap
aktivitas pemboran lokasi baru. Lahan yang digunakan pasca pemboran cukuplah
luas, sehingga dapat direncanakan suatu konsep RTH yang secara langsung mampu
memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkotaan. Contohnya adalah dengan
membuat satu konsep zonasi di lokasi pemboran yaitu membatasi antara lokasi
pemboran dengan aktivitas masyarakat di sekitar lokasi tersebut. Memberikan
suatu buffer zone berupa pohon yang
mengelilingi lokasi khususnya fasilitas utama di lokasi (misalnya wilayah
pompa) dengan jarak yang sesuai standar keamanan dan keselamatan. Begitu juga dengan kegiatan lainnya di dalam
kawasan yang berupa komplek perkantoran maupun perumahan. Dapat dibuat suatu
konsep perencanaan RTH yang baik dan menarik, misalnya saja taman bermain atau
lapangan.
Dalam mengaplikasikan konsep RTH di kawasan
pertambangan tentunya bukan hanya menjadi tanggung jawab bagi pihak yang
bergerak di sektor tersebut (pengelola kawasan pertambangan). Hal ini
seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, khususnya pihak-pihak yang terkait
utamanya adalah Pemerintah di daerah. Pemerintah daerah harus mampu menjadi
inisiator dan koordinator dalam menerapkan konsep RTH ini, apalagi melihat
potensi yang dimiliki oleh kawasan pertambangan. Pemerintah harus mampu
memberikan pemahaman pentingnya RTH ini, kemudian bekerja sama dengan pihak
pelaksana kawasan pertambangan tersebut dan memfasilitasi realisasi kegiatan
RTH di sana, khususnya yang kaitannya dengan pemahaman pentingnya RTH ini
kepada pihak pengelola kawasan dan hubungannya dengan masyarakat di sekitar
kegiatan pertambangan tersebut. Sinergisasi antara pemerintah daerah dan
pengelola kawasan pertambangan akan menghasilkan suatu konsep perencanaan RTH
yang mumpuni khususnya bagi aspek keselamatan dan keamanan masyarakat di
sekitar aktivitas pertambangan tersebut.
Selain itu manfaat yang akan didapat
adalah paradigm postif yang diterima oleh pihak pengelola kawasan pertambangan
berupa nilai pengembangan kawasan yang estetis, bersahabat dengan lingkungan
dan peduli terhadap alam. Hal ini tentunya dapat mereduksi paradigma negatif
yang diterima sebagai satu sektor yang mengeksploitasi alam dan tidak ramah
terhadap lingkungan. Selain manfaat bagi pihak pengelola kawasan
pertambangan, pemerintah daerah pun akan mendapatkan suatu prestasi apabila
dapat memenuhi kriteria dan proporsi minimal keberadaan RTH di wilayah
perkotaan. Pada akhirnya akan terjalin suatu simbiosis mutualisme diantara
pihak-pihak terkait dan dampaknya adalah kehidupan masyarakat yang lebih sehat
dan dekat dengan lingkungan.
Konsep Penghijauan
Kawasan Pertambangan, 2013
|
Referensi :
Gemilang, Dirsthasia P. 2012. Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Pusat Kota Ponorogo. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Makalah Lokakarya PENGEMBANGAN
SISTEM RTH DI PERKOTAAN Dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60Direktorat
Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum
Studi Perencanaan Tata
Ruang Wilayah Kenali Asam LPPM-ITB
No comments:
Post a Comment