Wednesday 30 April 2014

Kaderisasi KM-ITB

Ketika selesai menjalankan amanah sebagai Menteri Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) KM-ITB periode 2012-2013, saya sering mendapatkan beberapa pertanyaan mengenai arti dari sebuah kaderisasi. Sambil membuka isi dari email-email lama yang saya kirim, saya menemukan beberapa tanya jawab yang terjadi mengenai arti kaderisasi tersebut. Rasanya tidak salah jika saya sedikit membagi seputar tanya jawab mengenai kaderisasi yang ditanyakan oleh salah satu teman dan adik saya yang berasal dari Sekolah Tinggi di Bogor.
  • Menurut kakak hal utama dan terpenting dari kaderisasi mahasiswa itu apa dan gimana? 
Menurut saya hal utama dan terpenting dari kaderisasi mahasiswa adalah proses "belajar & mengalami". Kenapa proses belajar & mengalami, karena proses belajar & mengalami ini sudah mencakup seluruh kebutuhan manusia untuk memahami satu lingkup permasalahan maupun kondisi. Proses belajar & mengalami ini menjadi suatu kompilasi dalam pembelajaran yang utuh, tidak hanya memahami satu konteks kondisi dari pandangan teoritis semata, tapi juga pada tahap aplikasi yang berujung pada refleksi lalu merenung, sehingga pada akhirnya dia tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Setiap individu punya nilai pembelajarannya masing-masing, memiliki nilai-nilai pengalamannya sendiri-sendiri, dan pada akhirnya akan punya cara masing-masing dalam memberikan solusi bagi sebuah permasalahan dan kondisi. 

Mungkin teman-teman pernah mendengar ada yang namanya Rancangan Umum Kaderisasi (RUK) KM-ITB. RUK ini secara formal adalah landasan yang dipegang bersama-sama dalam membentuk profil di masing-masing tingkat. Tujuan akhirnya adalah bagaimana Kampus ITB dapat menghasilkan profil Sarjana ITB sesuai dengan materi dan step-step yang ada dalam RUK tersebut termasuk memenuhi profil di masing-masing tingkat. 

Namun disini saya tidak akan berbicara mengenai suatu bentukan profil yang harus dicapai, saya juga tidak akan berbicara masalah Rancangan Umum Kaderisasi (RUK) KM-ITB. Saya lebih ingin memberikan satu pemahaman bahwa RUK dan sebagainya mungkin ada, tapi nilai-nilai yang muncul hanya bersifat teoritis, dan justru kadang menjadi satu hal yang mengekang dan menghilangkan esensi mengenai kaderisasi itu sendiri bagi proses perkembangan seorang manusia. RUK boleh kita jadikan referensi, tapi tidak sepenuhnya kita jadikan satu pegangan kaku dalam proses pembelajaran. 

Nilai yang dihasilkan dari setiap individu dalam proses kaderisasi serta perkembangannya itu bermacam-macam. Banyak faktor yang mempengaruhinya, mulai dari internal individu itu sendiri dan yang terpenting menurut saya adalah seberapa mau dan mampu dia belajar, seberapa ingin dan banyak dia mengalami, hingga akhirnya seberapa jauh dia mampu memaknai proses keduanya. Standar perkembangan individu tidak bisa dibakukan, karena akhirnya bergantung pada sejauh mana individu ini mau berkembang termasuk antusiasmenya terhadap suatu hal. Hal yang perlu kita kejar adalah bagaimana membangun "rasa keinginannya untuk belajar", lalu memfasilitasinya dalam proses "mengalaminya". 
  • Oskm di itb sudah jadi agenda kaderisasi yang dibakukan sejak kapan? Pelaksana lapangan siapa dan Penanggung Jawab atau konseptornya siapa? 
OSKM itu sebetulnya tidak baku. Bisa saja OSKM ini dihilangkan jika memang tidak sesuai kondisi zaman. Secara historis OSKM mulai ada dari semenjak KM-ITB ini belum ada. Saat itu namanya masih Dewan Mahasiswa, beserta perangkat-perangkat lainnya dalam sistem kemahasiswaan ITB. Keberadaan OSKM sendiri (*mungkin lebih tepatnya event/metode kaderisasi dan penerimaan maba) muncul dengan format-format yang berbeda, balik lagi tergantung dari bagaimana bentukan sistem kemahasiswaan saat itu. Siapa yang memegang kaderisasi di kemahasiswaan saat itu dan apa yang ingin dicapai di masing-masing periode tersebut. Hal ini yang mempengaruhi ada/tidaknya OSKM, bentuk acara OSKM, nilai yang ingin disampaikan, dsb. Ya, kalau sampai saat ini sih event.metode penerimaan mahasiswa baru masih dirasa penting, makanya dalam sistem kemahasiswaan kami disepakati untuk ada OSKM. Dilihat dari pengejawantahan visi dan misi presiden yang menjabat, lalu GBHP yang menjadi landasan bagi pembentukan program kerja (salah satunya program dan metode kaderisasi), dan dicocokan dengan RUK sebagai landasan formal kaderisasi maka munculah program kerja OSKM ini.

Kalau bicara teknis pembentukan OSKM sampai tahap eksekusi, yang biasanya dilakukan adalah beberapa pembagian wewenang. Untuk membentuk tujuan, output, dan outcome yang dihasilkan dari OSKM, itu kewenangan Menteri PSDM. Pembentukan tujuan, output, dan outcome ini sendiri didasarkan pada hasil kajian, analisis dari berbagai macam sumber. Sumber-sumber yang paling penting antara lain : a. RUK KM-ITB; b. Visi dan Misi Kabinet; c. GBHP; d. Analisis Kondisi/Kebutuhan dan aspirasi dari Massa Kampus. Setelah materi-materi tersebut diolah, akhirnya muncul yang namanya Arahan OSKM. Arahan ini substansinya sudah mencakup seluruh hal, termasuk mengapa OSKM ini perlu ada serta seberapa penting OSKM ini untuk ada. Kemudian profil yang dihasilkan dari OSKM ini juga tercakup disitu.

Setelah arahan OSKM muncul, maka dibentuklah kepanitiaan. Menteri PSDM (saya) saat itu memilih untuk melakukan Open Recruitmen buat yang ingin jadi Ketua OSKM. Pembentukan kepanitiaannya nanti ketua OSKM lah yang melaksanakannya.
  • Rangkaian kaderisasi mahasiswa itb dari awal sampai akhir seperti apa dan apa saja rangkaian acaranya
Rangkaian kaderisasi mahasiswa yang umum ada di KM-ITB itu terbagi atas masing-masing tingkat. 
Tingkat Pertama biasanya lebih difokuskan pada kaderisasi terpusat (di kemahasiswaan terpusat seperti Kabinet) maupun di Unit Kegiatan Mahasiswa. Porsi besar untuk tingkat pertama ini ada di tangan PSDM KM-ITB untuk memfasilitasi mereka dalam beraktivitas dan berkembang. Ada juga kaderisasi wilayah (fakultas) yang dilaksanakan oleh masing-masing Fakulta (terdiri dari Himpunan-himpunan Jurusan di masing-masing fakultas sebagai pelaksananya).
Tingkat Kedua karena sudah penjurusan biasanya dilakukan kaderisasi di masing-masing Himpunan (Jurusan). Porsi besarnya ada pada Himpunan di masing-masing Jurusan. (Di ITB tidak ada BEM Fakultas, maupun Himpunan Fakultas)
Tingkat Tiga kaderisasi sudah mulai pada tahap memberi dan menerima. Artinya ketika tingkat tiga kebanyakan proses kaderisasinya adalah saat individu ini mulai mengemban tanggung jawab di masing-masing ranahnya. Ada yang di Himpunan, UKM, maupun di Kabinet sendiri.
Tingkat Empat adalah tingkat akhir yang kebanyakan nilai pembelajarannya sudah tidak lagi terpadu dan metodenya tidak terstandarkan. Ada yang lanjut dengan mengemban amanah di Kabinet KM-ITB, ada yang belajar di luar kampus, ada juga yang memanfaatkan fasilitas-fasilitas lain dalam berkembang. Kebanyakan memang tidak membebani tingkat Empat ini untuk terlibat lagi dalam proses kaderisasi karena fokusnya sudah pada Skripsi dan kelulusan. Hanya biasanya kami menjadikan Tingkat Empat ini sebagai Guardian of Value (SWASTA) yang membimbing adik-adiknya dengan membagi pengalaman serta ilmu-ilmu selama mereka beraktivitas di kampus ini.

Itu tadi secara umum mengenai proses kaderisasi yang ada, hanya saja kami sendiri masih kesulitan dalam mengukur ketercapaian profil dalam RUK khususnya melihat sudah seberapa tercapaikan profil Sarjana yang diinginkan di ITB ini. Kalau kita ingin tahu ketercapaiannya, tentu perlu ada proses standarisasi serta pengukuran, sehingga tercapai hasil yang valid. Namun kenyataannya pengukuruan tersebut belum menemukan metode yang pas dan terkesan mustahil dengan kuantitas mahasiswa yang sedemikian banyak (belasan ribu) dengan berbagai macam karakteristik. Maka dari itu menurut saya proses perkembangan seseorang tidak perlu distandarisasi, termasuk kaku dalam mengejar sebuah profil.
  • Profil mahasiswa seperti apa yang ingin diwujudkan oleh kaderisasi KM-ITB periode kakak? 
Kaderisasi yang ingin diwujudkan di zaman saya (untuk satu KM-ITB) sebetulnya cukup umum, yaitu kaderisasi yang terintegrasi dan terukur. Namun pada pelaksanaannya sulit untuk mengintegrasikan pemahaman yang sama dengan lembaga-lembaga yang ada dalam KM-ITB ini (Himpunan dan Unit). Dengan menyamakan persepsi sudah sulit apalagi dalam eksekusi metodenya. Hal ini dikarenakan karakteristik yang berbeda dari masing-masing lembaga (mulai dari kultur, sifat, dan arogansi). Selain karena sulitnya integrasi, sumber daya yang dimiliki oleh PSDM ini tidak cukup banyak (mulai dari waktu, manusia, dan keuangan). Jadi di awal memang harus ditetapkan PSDM KM-ITB ini bersifat sebagai Inisiator atau Koordinator. Di zaman saya diterapkan dua fungsi tersebut. Inisiator bagi angkatan termuda (sebagai fasilitator juga), koordinator bagi angkatan-angkatan diatasnya.
  • Kegiatan atau media pengembangan jati diri mahasiswa selain dari kepanitiaan ada apa lagi kak? Adakah event yang memang tujuannya adalah menjawab kaderisasi? 
Medianya tentu banyak dan bermacam-macam. Saya menyebutnya sebagai fasilitas. Fasilitas ini bisa berupa Kepantiaan, Komunitas, Event, Organisasi, bahkan termasuk Manusia. Jadi yang namanya pengembangan jati diri mahasiswa itu jangan cuma terpaku pada satu bentukan wadah yang umum, tapi coba lebih berpikir secara esensial lagi, bahwa lewat metode apapun dan media apapun yang terpenting adalah si individu ini mau belajar, mengalami kemudian memahami. Karena yang namanya pengembangan jati diri kan otuput yang ingin dihasilkan adalah Jati Diri yang Terkembang, maka jangan terlalu bingung dengan fasilitasnya harus seperti apa. Manfaatkan saja semua.
  • Setelah kaderisasi memberi 'asupan makanan' bagi mahasiswa, apa sih yang bisa dilakukan agar asupan makanan tersebut dapat tercerna dengan baik tidak hanya sebatas pengguguran kewajiban saja? 
Agar asupan tetap terjaga, ya tentunya kita harus mencoba merefleksikan kembali apakah asupan tersebut sudah sesuai dengan individu, kemudian apakah asupan tersebut sudah tercerna bisa kita ukur seharusnya. Pengukuran ini ya harus disiapkan jauh-jauh hari sebelum asupan ini diberikan kepada individu. Jadi kita tinggal melihat hasil dari asupan ini betul-betul tercerna atau tidak. Ibarat makanan, kita berikan pada orang yang sedang lemas. Kita tahu asupan ini tercerna pasti dengan melihat individu ini apakah jadi kuat, atau masih lemas. Kalau jadi kuat berarti asupan kita sesuai dan tercerna dengan baik. Tapi ketika masih lemas, perlu kita teliti apakah asupan ini tidak tercerna dengan baik, ataukah asupan ini tidak sesuai takarannya, apakah asupan ini bukan yang dibutuhkan, dan sebagainya. Jadi memberi asupan pun harus pas. 

Pesan saya yang paling penting dari memberi asupan adalah bagaimana pelaksanaan maintenance. Proses pemeliharaan asupan-asupan tersebut.

Oke, mungkin itu saja yang bisa saya berikan. Kalau ada yang kurang boleh ditanyakan kembali.

Terima Kasih

Tuesday 25 March 2014

Quotes : Minoritas Penggerak

"Suatu saat kita akan memahami bahwa pengabdian akan selalu abadi dan sang penggerak tidaklah banyak."


saat kegiatan
1stMovement 2012

Quotes : Keledai Lebih Baik

"Ada benarnya pepatah bahwa hanya keledai yang jatuh pada lubang yang sama dua kali. Namun, itu lebih baik dari seorang pengecut yang tidak mau jatuh sama sekali."


Jambi, 25 Maret 2014

Thursday 6 March 2014

Ekowisata

Indonesia merupakan negara dengan berjuta potensi dan keindahan alam. Kekayaan alam yang dimiliki meliputi keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi telah menjadikan negeri ini sebagai destinasi wisata yang menawarkan banyak jenis pariwisata. Selain jenis-jenis wisata yang didasarkan pada kekayaan alam, bumi nusantara ini juga menawarkan produk peradaban dari masyarakatnya berupa ragam budaya, dinamisasi pola kehidupan sosial dan cara berinteraksi satu sama lain. Hal-hal tersebut semakin memperkaya jenis pariwisata yang dimiliki oleh negeri ini. Seiring perkembangan zaman dan pemikiran, pemahaman mengenai pariwisata ikut berkembang dewasa ini. Perkembangan ini dipengaruhi oleh makna dari pariwisata itu sendiri yang terus berkembang dan mulai dipahami sebagai suatu lingkup multidimensi dan sangat terkait dengan latar belakang dari individu atau kelompok yang memaknainya. Keberadaan pariwisata yang multidimensi tadi akhirnya mebuat pariwisata dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang. Mulai dari perkembangan zaman yang ada saat ini, lingkup aspek seperti pariwisata dilihat dari sudut bisnis, industri, akademis, spasial, dan lain sebagainya.

Pariwisata yang memiliki pemahaman secara meluas, cenderung membentuk suatu sistem yang mengaitkan komponen-komponen satu sama lain menjadi satu sistem pariwisata. Seperti yang dikemukakan oleh Jordan, 2004  bahwa sistem Pariwisata adalah tatanan komponen dalam industri pariwisata dimana masing-masing komponen saling berhubungan dan membentuk sesuatu yang bersifat menyeluruh. Kemudian dikemukakan bahwa sistem pariwisata adalah hubungan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand). Penduduk yang berkeinginan dan berkemampuan untuk mengadakan perjalanan, atau dengan kata lain wisatawan, sebagai permintaan, dan dari segi penawaran adalah berbagai jenis moda transportasi, atraksi wisata, fasilitas dan pelayanan  jasa bagi wisata dan juga penyediaan informasi dan promosi wisata.

Pariwisata sebagai sebuah hasil pengelolaan aspek-aspek di dalamnya meliputi alam, manusia, dan integrasi keduanya memunculkan satu opini mengenai bentuk pengelolaan pariwisata yang baik dan berkelanjutan. Pemahaman ini mengedepankan nilai-nilai konservasi dalam mempertahankan kemurnian alam serta budaya masyarakat di dalamnya, termasuk integrasi antara keduanya. Konsep pariwisata yang berkembang tersebut berorientasi pada pemeliharaan kelestarian lingkungan dan mempertahankan budaya dari masyarakat setempat. Konsep ini biasa dikenal dengan sebutan ekowisata (ecotourism).

Ekowisata
Konsep ekowisata terkait erat dengan pariwisata berkelanjutan, yang memilki kriteria konservasi, edukasi, dan sustainability dengan berbagai komponen di dalamnya. Rumusan Ekowisata pertama kali ditemukan oleh Hector Ceballos-Lascurai pada tahun 1987 yaitu sebagai berikut:

”Nature or ecotourism can be defined as tourism that consist in travelling to relatively undisturbed or uncontaminated natural areas with the spesific objectives of studying, admiring, and enjoying the scenery and its wild plants and animals, as well as any existing cultural manifestations (both past and present) found in the areas.”

wisataindonesia.biz
Masyarakat Ekowisata Internasional (TIES,2000) mengartikan ekowisata sebagai suatu perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Sedangkan Janianton dan Helmut (2006) menyatakan bahwa ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-pinsip pariwisata berkelanjutan. Dari berbagai definisi tersebut terdapat tiga perspektif utama dalam melihat ekowisata, yaitu ekowisata sebagai produk, ekowisata sebagai pasar, dan ekowisata sebagai pendekatan pengembangan. Ekowisata sebagai produk merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. Ekowisata sebagai pasar merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Ekowisata sebagai pendekatan pengembangan merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Artinya, kegiatan ekowisata ini menekankan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan yang menjadi ciri khas dari ekowisata. Pihak yang terlibat dalam kegiatan ekowisata bukan hanya wisatawan dan masyarakat lokal, tetapi juga industri, pemerintah, maupun lembaga-lembaga lainnya yang memiliki kepentingan terhadap kegiatan ekowisata. Dapat disimpulkan bahwa ekowisata merupakan bentuk industri pariwisata berbasis lingkungan yang memberikan dampak kecil bagi kerusakan alam dan budaya lokal sekaligus menciptakan peluang kerja dan pendapatan serta membantu kegiatan konservasi alam itu sendiri (Panos, dikutip oleh Ward, 1997).

Penerapan Konsep Ekowisata
Indonesia memiliki berbagai macam pariwisata yang menerapkan konsep ekowisata, seiring dengan banyaknya kekayaan alam, dan ragam budaya yang dimiliki. Artinya banyaknya jenis ekowisata ini tentu memunculkan suatu tanggung jawab lebih bagi para penikmat jasa pariwisata tersebut. Beberapa contoh jenis ekowisata yang sering dijumpai adalah taman nasional dan kebun raya. Taman nasional maupun kebun raya pada awalnya ditujukan untuk kegiatan konservasi, laboratorium alam, dan penelitian. Namun seiring dengan perkembangan zaman yang berpengaruh pada selera masyarakat dan pola pikir yang terbentuk, pada akhirnya kedua hal tersebut menjadi satu peluang dalam memperkaya jenis-jenis pariwisata yang dapat ditawarkan. Keindahan alam yang memanjakan serta ikut merasakan pola kehidupan masyarakat lokal sehari-hari tentu akan menjadi suatu pengalaman yang mengasyikkan.


http://abahmandar.blogspot.com/2013/05/kenapa-harus-ekowisata.html
Dikutip dari Jurnal pengejar primata, taman nasional maupun kebun raya saat ini dibuka untuk umum bagi kepentingan edukasi. Berdasarkan informasi  Dari Sabang hingga Merauke, terdapat 50 taman nasional dan kebun raya. TN (Taman Nasional) Lorentz di Irian Jaya berpredikat World Heritage Park, sedangkan TN Ujung Kulon telah menjadi World Heritage Site. Contoh lain dari konsep ekowisata yang biasa diterapkan di Indonesia adalah konsep wisata bahari yang menawarkan rekreasi pesisir pantai sekaligus keindahan bawah laut Indonesia yang memang terkenal akan warna-warni jenis biota lautnya.

Kampung Naga
Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda. Kampung ini secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari. Mereka menolak campur tangan masyarakat luar terutama yang mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Pernah suatu ketika muncul kabar mengenai penutupan lokasi Kampung Naga untuk masyarakat umum. Alasannya adalah masyarakat lokal tidak ingin tempat tinggalnya dijadikan desa wisata, sehingga pihak-pihak luar dapat bebas keluar masuk serta menyebarkan pengaruh-pengaruh buruk bagi kampung mereka.

http://www.kalangsunda.net/kampungnaga.htm
Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, namun mereka juga taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, dan hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.

Konsep wisata yang terlihat dari Kampung Naga ini terletak pada pelestarian adat-istiadat dan pola interaksi masyarakat di dalamnya. Tergambarkan dengan jelas melalui bentuk tatanan sosial serta kepercayaan pada nilai-nilai leluhur dan turun-temurun. Selain dilihat dari pola interaksi antar sesama manusia, juga dapat dilihat dari pola interaksi yang terjadi antara masyarakat lokal dengan alam yang terlihat bersinergi, saling menjaga, dan saling bergantung satu sama lain. Satu hal yang menarik adalah jika diamati lebih jauh, suatu sekat dan batas tercipta secara tidak sengaja melalui sikap dan prinsip masyarakat terhadap pengaruh luar yang terjadi. Kebiasaan, budaya, dan kepercayaan mereka terhadap nilai-nilai leluhur membentuk suatu tameng bagi intervensi-intervensi masyarakat luar/asing yang ingin membawa pengaruh bagi pola kehidupan masyarakat lokal. Artinya konsep ekowisata ini menjadi satu hal yang tercipta secara otomatis dibenak para wisatawan ketika mengunjungi Kampung Naga ini. Segala peraturan, adat, dan budaya tersebut mengharuskan para wisatawan untuk menghargai apa yang sudah tercipta serta tidak merusak roda kehidupan masyarakat setempat.

Kawasan Wisata Kabupaten Merangin
Di Provinsi Jambi juga memiliki sebuah kawasan yang sangat berpotensi menjadi kawasan wisata unggulan, yaitu kawasan wisata di Kabupaten Merangin. Kabupaten ini memiliki banyak potensi dengan beragam obyek wisata alam dan budaya yang menarik serta bisa diandalkan untuk dikembangkan sebagai ekowisata. Beberapa obyek wisata yang dapat dijadikan unggulan seperti Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Wisata arung jeram dengan menelusuri sungai Merangin yang penuh resiko dan tantangan merupakan daya tarik tersendiri dimana setiap tahunnya dilaksanakan event nasional dan internasional yang bertepatan pada bulan Juli dan Agustus. Kemudian terdapat kebudayaan unik Suku Anak Dalam atau Suku Kubu yang masih primitif dan hidup di hutan belantara Merangin, Goa Sengayau dengan panorama stalagtitnya yang menarik, sumber air panas Grao, Danau Pauh dan Depati masih asri dan alami.

http://roni-bae.blogspot.com/2011/10/rony-zone-objek-wisata-di-kabupaten.html
Konsep ekowisata yang teraplikasikan disini adalah keberadaan-keberadaan obyek wisata alam dan budaya sebagai atraksi wisata yang dikelola menjadi sarana rekreasi serta edukasi bagi para penikmat pariwisata. Konsep ekowisata tersebut terdiri dari atraksi wisata yang ditawarkan melalui wisata alam hutan, arung jeram, kemudian sarana edukasi yang diberikan melalui pengalaman dan nilai budaya baik dari Suku Anak Dalam dan Suku Kubu. Atraksi wisata tersebut jika ditinjau dari sisi pemberdayaan masyarakat lokal dan pengaplikasian nilai-nilai partisipatif terwujud melalui pengikutsertaan masyarakat lokal dalam bekerja dan mengelola keberadaan atraksi-atraksi wisata tersebut. Selain itu, keberadaan atraksi wisata tersebut memunculkan nilai ekonomi berupa kegiatan ekonomi kecil/lokal terutama kaitannya dengan penjualan produk-produk lokal.

Sesuai dengan pemahaman umum mengenai ekowisata, bahwa ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, melainkan hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik, dan psikologis wisatawan. Bahkan dalam berbagai aspek, ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Pemahaman tersebut ibarat memunculkan suatu daya tarik wisata ke dalam satu paket yang utuh dan saling berkesinambungan. Tanggung jawab kita semua untuk terus menjaga kelestarian mereka dan mulai menghargai nilai-nilai kearifan lokal di masyarakat sebagai identitas keanekaragaman kekayaan negeri ini.

Referensi :
Pamungkas, Gilang. 2012. Kapasitas Jejaring Stakeholder Dalam Pengelolaan Ekowisata (Studi Kasus: Taman Nasional Gunung Gede Pangrango). Bandung: Institut Teknologi Bandung
Sumaryadi, Adityo. 2013. Identifikasi Kesesuaian Rencana Pengembangan Pariwisata Kawasan Kaki Jembatan Suramadu dengan Persepsi dan Preferensi Wisatawan. Bandung: Institut Teknologi Bandung
Agusmanto. 2004. Pengembangan Ekowisata Alam dan Budaya di Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Semarang: Universitas Diponegoro
http://abahmandar.blogspot.com/2013/05/kenapa-harus-ekowisata.html
http://www.kalangsunda.net/kampungnaga.htm

http://roni-bae.blogspot.com/2011/10/rony-zone-objek-wisata-di-kabupaten.html

Tuesday 4 March 2014

Paper : Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Pertambangan


 
oleh Adityo Sumaryadi
dalam Majalah Bulanan Pertamina Field Jambi


Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan salah satu komponen dalam membentuk struktur perkotaan. RTH ini memiliki pengertian sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemic, introduksi) guna mendukung manfaat langsung maupun tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. Berdasarkan jenisnya, RTH dapat diklasifikasikan menjadi RTH alami (habitat alami, kawasan lindung) dan RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman). Sedangkan berdasarkan status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi RTH publik (lahan publik atau lahan milik pemerintah) dan RTH privat (lahan milik pribadi).

RTH, baik RTH publik maupun RTH privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota. RTH terdiri dari beberapa jenis vegetasi yang disesuaikan dengan lokasi dan peruntukkannya, misalnya jenis vegetasi antara wilayah pusat kota dengan daerah pesisir akan berbeda. Proporsi 30% luasan ruang terbuka hijau kota merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, ruang terbuka bagi aktivitas publik serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota (Hakim,2004).


Taman Prestasi Surabaya, 2012
Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002), telah disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30 persen dari total luas kota dimana proporsi ruang terbuka hijau yang sesuai adalah sebesar 30% dari keseluruhan luas lahan yang komposisinya terbagi atas 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau pada suatu kota harus memenuhi luasan minimal ruang terbuka hijau sehingga dapat memenuhi fungsi dan memberikan manfaatnya dalam suatu kawasan kota dimana penyelenggaraan ruang terbuka hijau kota menurut Purnomohadi (2006).

Penerapan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Pertambangan
Penerapan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat dari keberadaan ruang-ruang terbuka seperti taman dan area-area hijau lainnya. Keberadaan RTH ini tentu memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam kelangsungan proses perkembangan kota serta keberlanjutan lingkungan di dalamnya. Selain itu, RTH tersebut dapat memberikan kontribusi yang besar bagi kelangsungan hidup dan aktivitas masyarakat di dalamnya. Sesuai dengan syarat proporsi minimal RTH yang harus dikembangkan di suatu wilayah perkotaan, setiap pihak baik instansi pemerintah, swasta, maupun masyarakat individu, seluruhnya dapat berkontribusi. Begitu juga sektor-sektor yang terkait, salah satunya adalah pihak yang bergerak di bidang energi/pertambangan.

Sektor pertambangan khususnya migas secara teoritis dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan RTH. Wilayah sektor migas tersebut dapat diterjemahkan sebagi kawasan pertambangan dimana setiap aktivitasnya memiliki keekslusifan dalam pengelolaan wilayahnya. Keberadaan kawasan pertambangan memiliki kebutuhan wilayah yang cukup luas, memiliki kriteria dan standar tertentu terutama bagi keamanan dan keselamatan pelaksanaan kegiatan, sehingga hal ini akan menjadi sebuah potensi dalam merealisasikan keberadaan RTH yang berkontribusi bagi pengembangan perkotaan. Potensi ini tidak dapat dioptimalkan jika tidak ada perencanaan yang baik dan pengelolaan yang terstruktur. Perlu sebuah penataan bagi kawasan pertambangan yang terencana dengan baik dan menjadikan pembuatan RTH sebagai sebuah kebutuhan dalam setiap aktivitas pengembangan lahan baik pemboran  maupun kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan.

Konsep Penghijauan Kawasan Pertambangan, 2013
Perencanaan RTH dalam kawasan pertambangan  dapat diejawantahkan misalnya di setiap aktivitas pemboran lokasi baru. Lahan yang digunakan pasca pemboran cukuplah luas, sehingga dapat direncanakan suatu konsep RTH yang secara langsung mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkotaan. Contohnya adalah dengan membuat satu konsep zonasi di lokasi pemboran yaitu membatasi antara lokasi pemboran dengan aktivitas masyarakat di sekitar lokasi tersebut. Memberikan suatu buffer zone berupa pohon yang mengelilingi lokasi khususnya fasilitas utama di lokasi (misalnya wilayah pompa) dengan jarak yang sesuai standar keamanan dan keselamatan.  Begitu juga dengan kegiatan lainnya di dalam kawasan yang berupa komplek perkantoran maupun perumahan. Dapat dibuat suatu konsep perencanaan RTH yang baik dan menarik, misalnya saja taman bermain atau lapangan.

Dalam mengaplikasikan konsep RTH di kawasan pertambangan tentunya bukan hanya menjadi tanggung jawab bagi pihak yang bergerak di sektor tersebut (pengelola kawasan pertambangan). Hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, khususnya pihak-pihak yang terkait utamanya adalah Pemerintah di daerah. Pemerintah daerah harus mampu menjadi inisiator dan koordinator dalam menerapkan konsep RTH ini, apalagi melihat potensi yang dimiliki oleh kawasan pertambangan. Pemerintah harus mampu memberikan pemahaman pentingnya RTH ini, kemudian bekerja sama dengan pihak pelaksana kawasan pertambangan tersebut dan memfasilitasi realisasi kegiatan RTH di sana, khususnya yang kaitannya dengan pemahaman pentingnya RTH ini kepada pihak pengelola kawasan dan hubungannya dengan masyarakat di sekitar kegiatan pertambangan tersebut. Sinergisasi antara pemerintah daerah dan pengelola kawasan pertambangan akan menghasilkan suatu konsep perencanaan RTH yang mumpuni khususnya bagi aspek keselamatan dan keamanan masyarakat di sekitar aktivitas pertambangan tersebut. 


Konsep Penghijauan Kawasan Pertambangan, 2013
Selain itu manfaat yang akan didapat adalah paradigm postif yang diterima oleh pihak pengelola kawasan pertambangan berupa nilai pengembangan kawasan yang estetis, bersahabat dengan lingkungan dan peduli terhadap alam. Hal ini tentunya dapat mereduksi paradigma negatif yang diterima sebagai satu sektor yang mengeksploitasi alam dan tidak ramah terhadap lingkungan. Selain manfaat bagi pihak pengelola kawasan pertambangan, pemerintah daerah pun akan mendapatkan suatu prestasi apabila dapat memenuhi kriteria dan proporsi minimal keberadaan RTH di wilayah perkotaan. Pada akhirnya akan terjalin suatu simbiosis mutualisme diantara pihak-pihak terkait dan dampaknya adalah kehidupan masyarakat yang lebih sehat dan dekat dengan lingkungan.

Referensi :
Gemilang, Dirsthasia P. 2012. Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Pusat Kota Ponorogo. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Makalah Lokakarya PENGEMBANGAN SISTEM RTH DI PERKOTAAN Dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum

Studi Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kenali Asam LPPM-ITB





Kaderisasi KM-ITB

Ketika selesai menjalankan amanah sebagai Menteri Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) KM-ITB periode 2012-2013, saya sering mendapatk...